Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apa hubungan sepak bola dengan Politik?

 



FIFA secara resmi merilis perkembangan terbaru terkait penyelenggaraan Piala Dunia 2026, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah akan digelar di tiga negara sekaligus: Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Turnamen ini juga menjadi edisi pertama dengan format 48 tim, menggantikan format 32 tim yang telah digunakan sejak 1998. Semua kebijakan  tersebut tentu tidak lepas dari politik.

Dalam banyak kesempatan, sepak bola tampak seperti panggung hiburan massal yang bersih dari kepentingan politik suatu ruang di mana emosi meledak tanpa beban ideologi. Namun penelitian internasional justru menunjukkan sebaliknya: sepak bola adalah ruang politik yang sangat hidup, tempat identitas dinegosiasikan, kekuasaan dipertontonkan, dan legitimasi kekuasaan dibangun. Lapangan hijau tidak pernah benar-benar hijau; ia adalah arena kontestasi sosial dan politik.

Riset Cleland & Cashmore (2016) menegaskan bahwa suporter tidak hanya datang untuk menikmati pertandingan, melainkan untuk menegaskan identitas kelompok etnis, kelas, hingga afiliasi politik. Di banyak negara, stadion adalah ruang di mana solidaritas sekaligus permusuhan sosial dipertajam. Bahkan, menurut Giulianotti & Robertson (2009), globalisasi sepak bola justru memperkuat politik identitas ketimbang meruntuhkannya, karena klub menjadi simbol keterikatan lokal yang berperan sebagai “bendera alternatif”.

Lebih jauh, pemerintah di berbagai negara telah lama memahami potensi politik itu. Henri Miettinen (2024) mencatat bagaimana pemerintah memanfaatkan event olahraga terutama sepak bola untuk nation branding, mengalihkan isu domestik, atau membangun legitimasi politik. Dari Rusia saat Piala Dunia 2018 hingga Timur Tengah dengan proyek-proyek “sportswashing”-nya, sepak bola telah menjadi instrumen diplomasi sekaligus alat pemoles citra politik.

Namun, sepak bola juga bisa menjadi panggung resistensi. Kasus para pemain dan suporter yang menggunakan momen pertandingan internasional untuk memprotes diskriminasi rasial atau kekerasan negara telah dibahas luas oleh Carrington (2010). Gerakan “Take a Knee” dan aksi protes fans Palestina di berbagai liga Eropa menunjukkan bahwa ruang olahraga dapat berperan sebagai arena demokratis ketika kanal politik formal tersumbat.

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, hubungan antara sepak bola dan politik tak kalah kental. Penelitia Matthew Guschwan (2015) menjelaskan bagaimana klub-klub lokal menjadi sumber patronase politik, sementara suporter dijadikan jaringan mobilisasi kekuasaan. Stadion menjadi ruang komunikasi politik, meski tidak pernah diakui secara resmi. Maka tak mengherankan jika pemilik klub sering kali adalah politisi atau pengusaha yang membutuhkan legitimasi massa.

Kenyataannya, ketika tubuh ribuan orang berkumpul dalam warna dan nyanyian yang sama, mereka bukan hanya menyatakan kesetiaan pada klub: mereka sedang berpolitik mengelola emosi, identitas, dan kekuatan sosial. Sepak bola menjadi cermin bagi negara itu sendiri: ia merefleksikan ketimpangan, harapan, solidaritas, bahkan cara kita memahami demokrasi. Karena itu, memahami sepak bola tanpa politik ibarat memahami lagu tanpa mendengar nadanya. Permainan ini selalu lebih besar dari skor.


Posting Komentar untuk "Apa hubungan sepak bola dengan Politik?"