Oligarki Politik di Indonesia
Dalam dua dekade terakhir, demokrasi Indonesia tampak berjalan di rel
formalnya: pemilu rutin, partisipasi pemilih tinggi, dan pergantian elite
berlangsung tanpa gejolak besar. Namun di balik rutinitas itu, para peneliti
internasional melihat pola lain yang mengeras fenomena oligarki politik.
Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy and Democracy in Indonesia
menggambarkan Indonesia sebagai “oligarki elektoral”: sebuah sistem yang tampak
demokratis, tetapi dikendalikan minoritas elite yang memiliki kekayaan, akses,
dan jaringan kekuasaan untuk memengaruhi hampir seluruh proses politik. Dalam
konteks ini, pertanyaan krusial muncul: siapa sebenarnya yang mengendalikan
kekuasaan di Indonesia?
Penelitian Robison & Hadiz (2004) menunjukkan bahwa jatuhnya Orde Baru
bukan berarti berakhirnya dominasi elite ekonomi-politik di Indonesia. Justru para pemain
lama konglomerat, keluarga politik, dan jaringan bisnis bertransformasi dan
menyusup ke institusi demokrasi. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah
artikulasi kepentingan rakyat, berubah menjadi kendaraan para elite untuk
mempertahankan kekuasaan. Di banyak daerah, menurut buku Mietzner (2013) mengungkapkan bahwa biaya politik yang sangat mahal membuat kandidat yang tak punya sponsor
oligarkis hampir mustahil bersaing. Politik biaya tinggi menciptakan lingkaran
setan: kekuasaan hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu membayar, bukan oleh
mereka yang punya kapasitas kepemimpinan.
Penelitian Fukuoka (2012) menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan
publik, terutama di bidang sumber daya alam, infrastruktur, dan energi, tak
jarang berpihak pada kepentingan segelintir kelompok yang memiliki kedekatan
struktural dengan elite pemerintah. Pada titik ini, demokrasi kehilangan salah
satu jiwanya: kemampuan negara untuk bertindak netral dan melindungi warga yang
rentan dari dominasi kelompok kuat. Dampaknya terasa mulai dari konflik agraria
yang terus meningkat, ketimpangan ekonomi yang melebar, hingga melemahnya
institusi pengawasan.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah normalisasi hubungan antara elite
ekonomi dan elite politik. Studi Aspinall & Berenschot (2019) tentang clientelism
di Indonesia menggambarkan bagaimana patronase menjadi budaya politik yang
diterima luas: uang, proyek, dan akses menjadi mata uang kekuasaan. Yang lebih
berbahaya bukan hanya praktiknya, tetapi bagaimana masyarakat perlahan
menganggap semua itu sebagai “kewajaran” sebuah konsekuensi demokrasi yang
mahal. Padahal, ketika politik berubah menjadi pasar transaksi, kepentingan
publik hampir selalu berada di urutan paling belakang.
Apakah rakyat sepenuhnya tak berdaya? Tidak juga. Riset terbaru oleh Lim (2017) mencatat bahwa masyarakat Indonesia menunjukkan
kecenderungan kritis yang meningkat, terutama melalui media sosial dan gerakan
sosial berbasis isu. Namun suara kritis ini kerap terfragmentasi, tidak
berkelanjutan, dan mudah dipatahkan oleh arus informasi yang terpolarisasi.
Tanpa basis pendidikan politik yang kuat, resistensi publik sering bersifat
spontan dan cepat padam.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang “siapa pengendali kekuasaan di Indonesia”
bukan sekadar kritik moral, melainkan cermin struktur politik kita. Demokrasi
tanpa pemerataan akses politik hanya akan memperpanjang umur oligarki. Negara
membutuhkan reformasi yang lebih serius: pendanaan partai yang transparan,
penguatan KPK dan lembaga pengawas, batasan ketat konflik kepentingan, serta
pendidikan politik yang membentuk warga kritis, bukan hanya pemilih musiman.
Oligarki bertahan bukan hanya karena kekuatan uang, tetapi karena lemahnya
sistem yang memungkinkan mereka bekerja tanpa hambatan. Dan selama demokrasi
kita hanya dimaknai sebagai ritual lima tahunan, para pemilik modal akan tetap
menjadi “pengendali senyap” yang mengatur arah kekuasaan dari balik layar.
Indonesia membutuhkan demokrasi yang lebih berani yang tidak takut menantang
mereka yang memonopoli kuasa.

Posting Komentar untuk "Oligarki Politik di Indonesia"